SEJARAH
DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQH
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ushul Fiqih
Dosen Pengampu: Dr. Rustam Dahar Karnadi
Disusun Oleh:
Fanny Nurus Salam 113811009
Fatmawatur Rohmah 113811010
Laela Noer Faizah 113811011
M. Izzudin Fikri 113811013
Purwowidodo 113811016
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
A.
PENDAHULUAN
Hukum
Islam dalam perjalanan panjangnya senantiasa megalami dinamika. Masa perjalanan
hukum Islam sendiri sebenarnya dapat diklasifikasikan menjadi beberapa fase,
yaitu masa Rasulullah, masa sahabat dan masa tabi’in, selain itu juga disusul
dengan masa tabi’it tabi’in. Pada masa Rasulullah persoalan hukum yang dihadapi
oleh umat Islam terbilang belum begitu kompleks. Selain itu penetapan suatu
hukum atas persoalan yang terjadi masih diserahkan penuh kepada Rasulullah SAW.
Kemudian pasca beliau wafat, persoalan
yang dihadapi oleh umat Islam semakin komplek, dan terkadang suatu permasalahan yang dihadapi
oleh umat Islam pada saat itu belum dijumpai pada zaman Rasulullah. Atas dasar
itu lahirlah sebuah ilmu ushul fiqh sebagai jawaban atas persoalan yang
dihadapi oleh umat Islam. Jika ditilik lebih jauh lagi, sebenarnya embrio ushul
fiqh telah ada sejak Rasulullah masih hidup. Kemudian setelah beliau wafat kajian
mengenai ushul fiqh semakin mendapatkan perhatian yang cukup besar besar dari
kalangan ahli hukum Islam.
Ada
beberapa pendapat yang menjelaskan mengenai asal dari ushul fiqh. Secara
teoritis, ilmu ushul fiqh lebih dahulu lahir dari ilmu fiqh, karena ushul fiqh
sebagai alat untuk melahirkan fiqh. Akan tetapi, fakta sejarah menjukkan, ushul
fiqh bersamaan lahirnya fiqh. Sedangkan dari segi penyusunannya, ilmu fiqh lebih
dahulu lahir dari pada ilmu ushul fiqh.[1] Namun, Terlepas dari hal
itu, dalam pembahasan makalah ini akan dijelaskan secara rinci mengenai hal
ikhwal sejarah perkembangan ushul fiqh.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
Periodisasi Embrio Ushul Fiqih pada Masa Nabi, Sahabat, dan Tabi’in?
2.
Bagaimana Latar
Belakang Terbentuk dan Tumbuh Berkembangnya Ushul Fiqih?
C.
PEMBAHASAN
1.
Periodisasi
Embrio Ushul Fiqih pada Masa Nabi, Sahabat, dan Tabi’in
a. Periode
Nabi
Pertumbuhan ushul fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum
Islam sejak zaman Nabi SAW hingga pada masa tersusunya ushul fiqh sebagai salah
satu bidang ilmu pada abad ke-2 H. Pada zaman Nabi SAW, sumber hukum Islam ada
2, yaitu Alqur’an dan sunnah. Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu
wahyu yang menjelaskan kasus hukum tersebut. Apabila wahyu tidak turun maka
Nabi menetapkan kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan
hadis dan sunah. Dalam menetapkan hukum dari berbagai kasus yang ada di
zamanya, ulama ushul fiqh menyimpulkan ada isyarat bahwa Nabi melakukannya
melalui ijtihad. Hasil ijtihad Nabi ini secara otomatis menjadi sunnah bagi
ummat.
Dalam beberapa
kasus, Nabi SAW juga mengaplikasikan qiyas ketika menjawab pertanyaan para
sahabat. Cara-cara beliau dalam menetapkan hukum inilah yang menjadi bibit
munculnya ilmu ushul fiqh. Oleh sebab itu, para ushuliyyin menyatakan bahwa
ushul fiqh itu sendiri bersamaan hadirnya dengan fiqh, yakni sejak zaman Nabi
SAW. Bibit ini semakin jelas di zaman para sahabat karena persoalan yang mereka
hadapi semakin berkembang, sedangkan Al-qur’an dan sunnah telah selesai turun
seiring dengan wafatnya Nabi SAW.[2]
b.
Periode Sahabat
Pada
masa ini kajian tentang fiqih mulai dirumuskan, yaitu setelah wafatnya
Rasulullah SAW. Sebab pada masa hidupnya Rasulullah SAW, semua persoalan hukum yang timbul diserahkan kepada Beliau. Meskipun satu atau dua kasus
hukum yang timbul terkadang disiasati para sahabat Beliau dengan ijtihad,
tetapi hasil akhir dari ijtihad tersebut, dari segi tepat atau tidaknya
ijtihad mereka itu, dikembalikan kepada
Rasulullah SAW. Hal ini karena Rasulullah SAW adalah satu-satunya pemegang
otoritas kebenaran Agama, melalui wahyu yang diturunkan kepada Beliau.
Pada periode
sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum, pada hakikatnya para
sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk berijtihad. Hanya saja, ushul
fiqh yang mereka gunakan baru dalam bentuknya yang paling awal, dan belum
banyak terungkap dalam rumusan-rumusan sebagaimana yang kita kenal sekarang.
Contoh cikal bakal
ilmu ushul fiqh yang terdapat pada masa Rasulullah SAW dan masa sahabat, antara
lain berkaitan dengan ketentuan urutan penggunaan sumber dan dalil hukum,
sebagai bagian dari ushul fiqh, misalnya dapat dilihat dari informasi tentang
dialog antara Rasulullah SAW dan Mu’az bin Jabal, ketika Rasulullah SAW
mengutus Mu’az ke Yaman.
“ketika Rasulullah SAW bermaksud mengutus Mu’az ke Yaman, beliau
bertanya: “ bagaimana kamu memutuskan bila suatu kasus diajukan kepadamu? Ia menjawab:
“saya akan putuskan berdasarkan kitab Allah” beliau bertanya lagi: “jika kamu
tidak menemukannya dalam kitab Allah? ia menjawab: “ saya yakan putuskan
berdasarkan sunah Rasulullah SAW ” beliau bertanya lagi: “jika kamu tidak
menemukannya dalam kitab Allah maupun sunnah Rasulullah?Ia menjawab: “saya akan
berijtihad, namun saya tidak akan ceroboh.” beliau berkata sambil menepuk dada
Mu’az : “ segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq utusan Rasulullah
kepada apa yang di ridhai Rasul itu.”
Para sahabat
Rasulullah SAW selain karena kedekatan mereka kepada Beliau, mereka juga menimba banyak pengalaman dari Beliau dan
memahami secara mendalam pembentukan hukum Islam (tasyri’), juga karena mereka
sendiri memiliki pengetahuan bahasa arab yang sangat baik. Dengan bekal
pengalaman dan kemampuan tersebut, maka ketika Rasulullah SAW wafat mereka
telah dapat melakukan ijtihad untuk mengatasi masalah kekosongan hukum atas
peristiwa-peristiwa baru yang terjadi yang belum ada ketentuan hukumnya secara
eksplisit dalam Alqur’an dan sunnah. Mereka juga tidak banyak mengalami kesulitan
memahami ayat-ayat Alqur’an dan maksud sunnah untuk melakukan pengembangan
hukum Islam, terutama melalui metode qiyas.
Langkah-langkah
yang ditempuh para sahabat apabila menghadapi persoalan hukum ialah menelusuri
ayat-ayat Al qur’an yang berbicara tentang masalah tersebut. Apabila tidak
ditemukan hukumnya dalam Al qur’an maka mereka mencarinya di dalam sunnah.
Apabila di dalam sunnah pun tidak ditemukan barulah mereka berijtihad.[3]
c.
Periode Tabi’in
Sejalan dengan berlalunya masa sahabat, timbullah masa tabi’in. Pada
masa ini, sejalan dengan perluasan wilayah-wilayah Islam, dimana pemeluk Islam
semakin heterogen bukan saja dari segi kebudayaan dan adat istiadat lokal,
tetapi juga dari segi bahasa, peradaban , ilmu pengetahuan, teknologi dan
perekonomian, banyak bermunculan kasus-kasus hukum baru, yang sebagiannya belum
dikenal sama sekali pada masa Rasulullah SAW dan masa sahabat. Untuk menjawab
kasus-kasus hukum ini, lahir tokoh-tokoh Islam yang bertindak sebagai pemberi
fatwa hukum. Mereka ini sebelumnya telah lebih dahulu menimba pengalaman dan
pengetahuan di bidang ijtihad dan hukum dari para sahabat pendahulu mereka.
Para ahli hukum generasi tabi’in ini, antara lain, Said bin al-Musayyab
(15-94H) sebagai mufti di Madinah. Sementara di Irak tampil pula Alqamah bin
al-Qais (w. 62H) dan Ibrahim an-Nakha’i (w. 96H), di samping para ahli hukum
lainnya.
Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli
hukum generasi tabi’in juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan
yang dilakukan para pendahulu mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain
merujuk Alquran dan sunnah, mereka telah memiliki tambahan rujukan hukum yang
baru, yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ ahl al-Madinah, fatwa ash-shahabi,
qiyas, dan mashlahah mursalah, yang telah dihasilkan oleh generasi
sahabat.
Terhadap sumber rujukan yang baru itu, mereka memiliki kebebasan
memilih metode yang mereka anggap paling sesuai. Oleh karena itu, sebagian
ulama tabi’in ada yang menggunakan metode qiyas, dengan cara
berusaha menemukan ‘illah hukum suatu nashsh dan kemudian
menerapkannya pada kasus-kasus hukum yang tidak ada nashsh-nya tetapi
memiliki ‘illah yang sama. Sementara sebagian ulama lainnya lebih
cenderung memilih metode mashlahah, dengan cara melihat dari segi
kesesuaian tujuan hukum dengan kemaslahatan yang terdapat dalam prinsip-prinsip
syara’.
Perbedaan cara yang ditempuh oleh kedua kelompok tabi’in
ini, terutama timbul karena perbedaan pendapat: apakah fatwa ash-shahabi
dapat menjadi dalil hukum (hujjah)? Dan apakah ijma’ ahl al-Madinah merupakan
ijma’ sehingga berkedudukan sebagai hujjah qath’iah (dalil hukum
yang bersifat pasti)?
Adanya kedua kelompok ulama di atas merupakan cikal bakal lahirnya
dua aliran besar dalam ilmu ushul fiqh dan fiqh, yaitu aliran Mutakallimin
atau asy-Syafi’iyyah, yang dianut jumhur (mayoritas) ulama, dan aliran fuqaha’
atau hanafiyyah yang pada mulanya berkembang di Irak.[4]
2.
Latar belakang
terbentuk dan tumbuh berkembangnya ushul fiqih
Ilmu
ushul Fiqih, lahir sejak abad ke-2 H. Ilmu tersebut, pada abad pertama Hijriyah
memang tidak diperlukan karena keberadaan Rasulullah SAW. masih bisa mengeluarkan fatwa dan memutuskan
suatu hukum berdasarkan ajaran Alqur’an, Sunnah dan apa yang diwahyukan kepada
beliau. Disamping itu secara fithri, ijtihad Rasul tidak memerlukan Ushul atau
kaidah-kaidah yang dijadikan sebagai istinbat dan ijtihad. Begitu pula dengan
para sahabat, mereka memberikan fatwa hokum dan memutuskan suatu keputusan
berdasarkan nash-nash yang dipahami lantaran kemampuan potensial mereka dibidang
bahasa arab yang benar, tanpa memerlukan kaidah-kaidah bahasa yang dapat
dijadikan sebagai dasar pemahaman nash. Para sahabat juga melakukan istinbat
terhadap hukum yang tidak ada nashnya berdasarkan kemampuan potensial mereka
dalam membina hokum syari’at Islam yang terpusat di dalam jiwa mereka yang
disebabkan akrabnya mereka dengan Rasulullah di dalam pergaulan. Selain itu,
para sahabat juga ikut menyaksikan sebab-sebab turunnya Al-Qur’an dan
sebab-sebab dikeluarkannya hadits, serta memahami maksud dan tujuan syari’
(pembuat hokum, yakni Allah) disamping prinsip-prinsip pembentukan hokum Islam.
Namun
ketika dunia Islam semakin berkembang luas dengan hasil kemenangan yang diraih,
dan bangsa Arab telah banyak bergaul dengan bangsa-bangsa lain, sehingga timbul
interaksi bahasa lisan dan tulis-menulis, maka beberapa sinonim dan gaya bahasa
Arab tercampur dengan bahasa lain. Sebagai akibatnya, naluri bahasa mereka
menjadi tidak murni lagi. Maka terjadilah kerancuan dan kemungkinan yang
terjadi di dalam cara memahami nash. Sehingga dianggap perlu menyusun
batas-batas dan kaidah-kaidah bahasa yang dapat mendukung pemahaman nash,
sebagaimana bangsa arab mampu memahami nash sesuai bahasa yang ia gunakan.
Penyusunan kaidah itu tidak jauh berbeda dengan penyusunan kaidah-kaidah Nahwu
yang dapat membantu kemampuan berbahasa secara baik.
Demikian
setelah waktu lama dari awal pembentukan hukum Islam, banyak terjadi perdebatan
antara Ahli Hadits dan Ahli Ra’yu. Banyak juga orang yang hanya berdasarkan
keberanian mengeluarkan suatu hujjah yang tidak pantas sebagai hujjah, bahkan
menolak hujjah yang sebenarnya. Kondisi ini mendorong peletakan batasan-batasan
dan bahasa tentang dalil syar’iyyah dan syarat-syarat atau cara menggunakan
dalil-dalil. Seluruh pembahasan tentang
penggunaan dalil, batasan-batasan atau kaidah-kaidah bahasa ini yang disebut
sebagai ilmu ushul fiqh.
Namun,
ilmu tersebut tumbuh dalam kondisi yang sangat sederhana, seperti halnya anak
kecil yang baru lahir. Kemudian, secara bertahap ilmu tersebut tumbuh semakin
meningkat sehingga mencapai usia 200 tahun. Sejak itu, mulailah ilmu itu
berkembang dengan pesatnya, tersebar dan memencar bersama berkembangnya hukum
Fiqh, sebab setiap Imam mujtahid , baik Imam yang empat atau yang lainnya,
selalu memberi petunjuk dengan dalil hukum yang disertai dengan ilmu Ushul Fiqh
dan arahan pengambilan dalil dengan ilmu itu juga. Sedang para mujtahid yang
tidak menggunakan cara tersebut, berarti telah membuat hujjah dengan jalan yang
menyimpang. Padahal, semua pengambilan dalil dan penggunaan hujjah selalu
mengandung kaidah-kaidah Ushul.[5]
Orang
pertama yang menghimpun kaidah-kaidah yang berserakan itu, ialah Imam Abu
yusuf, seorang pengikut setia imam Abu Hanifah. Hal ini, dikatakan oleh Ibnu
Nadim dalam kitabnya yang bernama Al Fahrasat . Namun sangat disayangkan
catatan-catatan tersebut tidak sampai ketangan
kita. Oleh ahli ushul fiqih dianggap yang pertama mengumpulkan dan menyusun
ilmu ini adalah Imam Syafi’i dalam kitabnya yang bernama Ar-Risalah.
Dan setelah itu, muncullah para penulis
lain yang melengkapi dan menyempurnakannya seperti Imam Ghazali dalam kitabnya
yang bernama Al-Mustasyfa, Al-Amidi
dalam kitabnya yang bernama Al-Minhaj
yang disyaratkan oleh Asnawi.[6]
Dari
kalangan madzhab Hanafi yang terkenal Abu Zaid Al Dabbas dalam kitabnya yang
bernama Ushul, Fadhul Islam Al
Basdawi dalam kitabnya yang bernama Ushul
dan Nasafi dalam kitabnya yang bernama Al
Manar. Disamping itu lahirlah pula kitab yang bernama Badi’un Nizam Al Jami Baina Bazdawi wal ‘itisom oleh Muzafaruddin
Al Baghdadi Al Hanafi, kitab tahrir
oleh kamal bin Humam dan kitab Jam’ul
jawani oleh ibnu Subki.
Di
abad sekarang ini ada pula beberapa buah kitab yang ditulis oleh beberapa ulama’, diantaranya kitab Irsyadul Fuhul oleh Syaukani, kitab Ushul Fiqh oleh Hudari Bek, kitab Tahsilul wushul oleh Muhammad
Abdurrahman Mahlawi. Dan masih banyak kitab-kitab Ushul Fiqh yang lainya.
D.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
a.
Periodisasi
embrio ushul fiqih pada masa Nabi, Sahabat, dan Tabi’in
Periode
Nabi SAW: para
ushuliyyin menyatakan bahwa ushul fiqh itu sendiri bersamaan hadirnya dengan
fiqh, yakni sejak zaman Nabi SAW. Bibit ini semakin jelas di zaman para sahabat
karena persoalan yang mereka hadapi semakin berkembang, sedangkan Al-qur’an dan
sunnah telah selesai turun seiring dengan wafatnya Nabi SAW. Periode
Sahabat Pada masa ini kajian tentang fiqih
mulai dirumuskan, yaitu setelah wafatnya Rasulullah SAW. Pada periode sahabat,
dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum, pada hakikatnya para sahabat
menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk berijtihad. Hanya saja, ushul fiqh
yang mereka gunakan baru dalam bentuknya yang paling awal, dan belum banyak
terungkap dalam rumusan-rumusan sebagaimana yang kita kenal sekarang. Periode
Tabi’in: Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana
generasi sahabat, para ahli hukum generasi tabi’in juga menempuh
langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan para pendahulu mereka. Akan
tetapi, dalam pada itu, selain merujuk Alquran dan sunnah, mereka telah
memiliki tambahan rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’
ahl al-Madinah, fatwa ash-shahabi, qiyas, dan mashlahah mursalah,
yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat.
b.
Latar belakang
terbentuk dan tumbuh berkembangnya ushul fiqih
.
Ilmu ushul Fiqih, lahir sejak abad ke-2 H. Ilmu tersebut, pada abad pertama
Hijriyah memang tidak diperlukan karena keberadaan Rasulullah SAW. masih bisa mengeluarkan fatwa dan memutuskan
suatu hukum berdasarkan ajaran Alqur’an, Sunnah dan apa yang diwahyukan kepada
beliau. Namun ketika dunia Islam semakin berkembang luas dengan hasil
kemenangan yang diraih, dan bangsa Arab telah banyak bergaul dengan
bangsa-bangsa lain, sehingga timbul interaksi bahasa lisan dan tulis-menulis,
maka beberapa sinonim dan gaya bahasa Arab tercampur dengan bahasa lain.
Sebagai akibatnya, naluri bahasa mereka menjadi tidak murni lagi. Demikian setelah waktu lama dari
awal pembentukan hukum Islam, banyak terjadi perdebatan antara Ahli Hadits dan
Ahli Ra’yu. Banyak juga orang yang hanya berdasarkan keberanian mengeluarkan
suatu hujjah yang tidak pantas sebagai hujjah, bahkan menolak hujjah yang
sebenarnya. Kondisi ini mendorong peletakan batasan-batasan dan bahasa tentang
dalil syar’iyyah dan syarat-syarat atau cara menggunakan dalil-dalil. Seluruh pembahasan tentang penggunaan dalil,
batasan-batasan atau kaidah-kaidah bahasa ini yang disebut sebagai ilmu ushul
fiqh.
2.
Saran
Demikian makalah yang dapat kami buat. Kami menyadari bahwa makalah
yang kami susun ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami mengharapkan
kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca demi lebih baiknya penulisan
makalah yang selanjutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Asmawi. Perbandingan
Ushul Fiqih. Jakarta: AMZAH. 2011.
Dahlan , Abd. Rahman. Ushul Fiqih. Jakarta: AMZAH. 2011.
Karim A,
Syafi’I, Fiqih-Ushul Fiqih,
Bandung : CV. Pustaka Setia, 1997.
Wahab, Abdul khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Gema Risalah Press, 1996.
[1] Abd. Rahman,
Dahlan, Ushul Fiqih, Jakarta: AMZAH,
2011, hlm. 20.
[2] Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqih, Jakarta:
AMZAH, 2011, hlm. 6.
[3] Abd.
Rahman, Dahlan, Ushul Fiqih, 2011, hlm.
20-23.
[4] Abd.
Rahman, Dahlan, Ushul Fiqih, hlm.
23-24.
[5] Wahab,
Abdul khalaf, Ilmu Ushul Fiqih,
Bandung: Gema Risalah Press, 1996, hlm. 29-30.
beberapa motode ushul sudah dipraktekkan pada masa nabi, seperti nasakh, qiyas yang dilakukan oleh nabi, dan pembenaran qiyas sahabat. By: Ushul Fiqih di Masa Nabi SAW
BalasHapusartikelnya sangat membantu saya. pas banget dengan mata kuliah saya..ushul fiqih... semoga ilmunya berkah dan bermanfaat tentunya
BalasHapusamin...smoga bermanfaat tulisan kami...
Hapussangat membantu
BalasHapus